Airport
Setelah mendapat kabar dari Dinda, Renjun segera menuju ke bandara. Jika biasanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, kali ini Renjun hanya menggunakan waktu 20 menit untuk sampai di bandara.
Sha, tunggu… tunggu gua. Jangan pergi dulu, Sha, batin Renjun.
Renjun sudah sampai di dalam bandara dan mencoba menghubungi Dinda untuk menanyai posisi mereka ada di mana.
Sekarang, Renjun sudah berada di depan Roti Boy, tetapi ia tidak menemukan siapapun di sana. Tidak ada Disha, sang kekasihnya, dan juga tidak ada Dinda di sana.
Gua... telat? lo dimana, Sha, gua... udah di sini. lo beneran pergi? lo beneran ninggalin gua sendiri di sini? Sha, apa lo ga mau cerita dulu atau kita omongin baik-baik dulu? gua telat, ya, Sha? lo bener-bener udah pergi, ya?, batin Renjun.
Renjun terus menengok ke kanan ke kiri, masih mencoba untuk menemukan Disha... walaupun pada akhirnya usahanya sia-sia, tidak ada Disha di sana.
Tanpa sadar air mata Renjun turun tanpa diminta, kakinya terasa lemas dan tak sanggup lagi untuk berdiri.
Renjun pun terduduk lemas di pinggiran sana. Ia bahkan idak peduli jika orang-orang akan melihatnya aneh. Yang ada dipikirannya sekarang hanya Disha, kesayangannya.
Sha… lo beneran udah gak di sini, ya? gak ada salam perpisahan, Sha? gua bener-bener sendirian... di sini?, batin Renjun.
Saat Renjun masih terduduk lemas di sana, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang yang ia tidak kenal.
Bahkan, Renjun tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan dari genggaman di tangannya. Ia mengikuti kemanapun orang tersebut membawanya.
“Lo ngapain di situ, kak? lo ngapain lagi duduk di sana? lo mau jadi perhatian semua orang?!” Renjun masih menunduk, ia tidak mendengarkan perkataan seseorang di depannya itu. Entah pikirannya lagi dimana dan kemana.
“Kak.” panggilnya lagi, sambil menaikan dagu Renjun agar Renjun menatapnya.
“D-disha?” Renjun terkejut bukan main saat mengetahui Disha lah yang berada di depannya sekarang.
“Lo tuh, ya, kak! suka banget nyari masalah. Tadi kalo ada yang kenal lo terus mer—”
“Gini dulu, Sha, sebentar... gua kangen banget sama lo.” belum sempat Disha menyelesaikan perkataanya, tubuhnya sudah lebih dahulu dipeluk.
Disha tentu terkejut dengan perlakukan Renjun yang tiba-tiba. Tetapi secepat mungkin Disha langsung memeluk balik laki-laki di depannya itu. Memeluknya tidak kalah erat, dan memberikan elusab pelan dipunggungnya.
Keduanya sama-sama tenggelam dalam rasa rindu yang sudah mereka tahan dari lama itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara isakan dari Renjun.
“Jangan tinggalin gua, Sha,” ucapnya disela-sela tangisan.
“Iya... engga, kak. Tapi ayo jangan di sini, nanti diliatin orang-orang.” Disha melepas pelukannya. Pertama yang diliatnya adalah terlihat wajah Renjun yang memerah dan matanya yang sembab. “Udah jangan nangis, ayo pergi dulu.” Disha mengusap pelan air mata renjun sebelum mereka pergi dari sana.
“Jadi, gimana?” tanya Disha.
Sekarang mereka berdua sudah berada di dalam rumah Renjun. Atau lebih tepatnya berada di ruang santai. Sebelumnya Renjun bingung ingin membawa Disha kemana, sehingga ia memutuskan untuk membawa Disha ke rumahnya.
“Lo... gak jadi pergi, sha?”
Terlihat bingung dari wajah disha. “Hah, pergi ke mana?”
“Loh, lo ke bandara mau pergi kemana?”
Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Disha malah tertawa yang membuat Renjun makin terlihat bingung di sana. “kok ketawa sih?”
Cepat-cepat Disha menyelesaikan tawanya, agar kesalahpahaman ini tidak berlangsung lama. “Gua ke bandara nganterin kak Doy soalnya dia mau ke Jepang. Lagian kok bisa tau gua di bandara?”
“Dinda ngasih tau,” balas Renjun.
Setelahnya Renjun memeluk Disha, lagi. “Sebentar, ya, Sha. Gua akhir-akhir ini capek banget... gua kangen sama lo, tapi di sisi lain gua capek ngurusin buat balikin hubungan kita. gua bingung gimana caranya kita bisa balik kayak awal-awal lagi, Sha.”
Disha kembali mengelus punggung renjun, dan sesekali mengelus kepalanya.
“Maaf, ya, aku pergi buat nenangin semuanya. Aku ngerasa kalo kita masih berhubungan waktu itu malah bikin rumit semuanya. Maaf kalo ternyata aku salah, maaf bikin kamu capek sendirian, kak.”
Meskipun masih dalam pelukan, Renjun menyempatkan menggelengkan kepalanya. “Engga, kamu gak salah. Gak ada yang salah dari kita berdua, Sha, kita sama-sama bingung waktu itu. Dengan kamu gak ninggalin aku sekarang, aku udah berterima kasih sama kamu. Makasih ya, Sha, makasih udah tetep di sini. i still love you, Sha.”
Disha terkekeh pelan. “Me too, makasih juga udah mau berjuang buat aku dan buat kita. Aku kemaren liat tweet kakak! keren banget deh pacar aku.” Disha mencubit pelan pipi renjun.
Renjun tersenyum tipis, mungkin Disha juga tidak dapat melihat senyumannya itu. “Aku sesayang itu sama kamu, aku bakal lakuin apa aja buat kamu, Sha. Aku udah mikirin kemaren, kalo ternyata orang-orang tetep gak mau aku punya pacar dan mereka nyuruh aku berhenti... aku bakal berhenti.
“Tapi ternyata masih banyak sha yang dukung kita. Kalaupun nanti ada yang gak suka, gak usah didengerin, ya, Sha. Yang jalanin kita, kita yang lebih tau satu sama lain,” lanjutnya.
“Aduh, peluk-pelukan aja ini di sini. Siapa, bang, itu?”
Secepat kilat Disha langsung melepas pelukan itu saat mendegar suara dari depan mereka. Ah, sepertinya itu mamahnya Renjun.
“Loh, Mah, udah pulang. Ini Disha, yang sering abang ceritain.”
Dari wajahnya, terliat kaget dan juga bahagia menjadi satu. “Oh, ini Disha? ya ampun... sini sini, nak. Renjun suka banget loh ceritain kamu, kebetulan mamah baru beli makan, nih. Makan bareng-bareng, yuk,” ajak mamahnya Renjun.
“Ah, iyaa tante,” balas Disha, meskipun masih sedikit canggung.
“Kok tante, panggil mamah aja, ya, cantik. Dari dulu mamah kepingin banget ketemu sama kamu, tapi Renjunnya baru bawa kamu sekarang.”
“Eh… hehe, iya, mah.”
Sore itu terasa lebih bahagia untuk renjun dan disha. Semua masalah mereka sudah selesai. Tidak ada lagi salahpaham, dan tidak ada yang akan ditinggalkan. Tidak ada lagi yang menganggu dan juga tidak ada lagi putus kontak.