olenjiyeou

“Ini kalo ngeringkuk gini, tandanya kenapa?”

Sudah lima menit Diyon di rumah Jihan, tetapi Jihan tidak bergerak sedikit pun dari posisi awalnya. Masih saja meringkuk.

“Kenapa? perutnya sakit? atau kenapa. Cerita, Han. Aku ga bakal ngerti kalo kamu cuma diem aja. Aku ga bisa baca pikiran kamu, Han.” Tanpa sadar, Diyon meninggikan intonasi icaranya.

Ah, sepertinya Diyon sudah sedikit malas dengan sikap Jihan yang selalu seperti ini. Diam, tidak mau membuka suara.

Hiks…

“Kamu… kamu nangis?” Terdengar panik dari suara Diyon. “maaf.” ucap Jihan, disela-sela tangisannya.

“Tadi aku dimarahin, terus nilai aku jelek. Terus bunda malah diem aja, bikin aku makin takut. Kamu… kamu juga malah ikut marah. Maaf… maafin aku nyusahin.” Bukannya mereda, tangisan Jihan malah semakin kencang.

Tanpa menunggu lama, Diyon segera memeluk kekasihnya. Tidak ada obrolan apapu, dan hanya ada pelukan hangat di antara mereka berdua. Diyon juga sesekali mengelus pelan punggung dan rambut Jihan.

“Cuci muka dulu sana. Terus ambil jaket, langsung turun. Aku tunggu di mobil.” Diyon melepas pelukan tersebut. Mengusap pelan air mata Jihan, dan mengecup singkat kepala Jihan. Lalu pergi ke lantai bawah menuju ke arah luar rumah, dan langsung masuk ke mobilnya.


Langit malam terlihat sangat cantik hari ini. Banyak bintang-bintang yang menghiasi langit malam ini, yang membuat malam tidak terlalu terasa gelap.

Suhu malam ini juga tidak terlalu dingin. Ah, rasanya sangat nyaman malam ini.

“Dingin? mau dikecilin?” tanya Diyon. Mendengarkan itu, Jihan hanya menggelengkan kepalanya. “Ini mau kemana, kak?”

“Tidur dulu aja kalo ngantuk, soalnya masih jauh. Nanti aku bangunin kalo udah nyampe.”

Diyon mengambil selimut yang berada di kursi belakang—selimut ini selalu ada di sana karena Diyon tidak mau Jihan merasa kedinginan di mobilnya—membuka selimutnya, dan memasangkannya ke Jihan.

“Turunin aja kursinya kalo mau,” lanjutnya.

Merasa lelah sudah menangis hampir satu jam, akhirnya Jihan memilih untuk tidur di mobil Diyon, Kekasihnya.


“Jihan...” Diyon mencoba membangunkan wanitanya.

Sebenarnya mereka sudah sampai ditujuan dari sepuluh menit yang lalu. Tetapi Diyon merasa tida tega untuk membangun Jihan yang seperti sangat nyenyak di dalam tidurnya.

“Sayang,” panggilnya lagi masih mecoba. Tidak lupa Diyon juga mengelus pelan pipi Jihan.

“Eum...” Jihan menggeliat pelan. “Udah sampe, kak?” tanyanya dengan mata masih tertutup dan suara seraknya, khas bangun tidur.

Bukannya menjawab, Diyon malah asyik melihat Jihan yang seperti kebingungan melihat ke kanan dan ke kiri. Bingung, ia lagi dimana

“tempatnya bagus juga, lo tau dari mana cafenya?” tanya Lesya.

setelah menempuh sekitar 10 menit dari SMA 27, akhirnya Lesya dan Jedean sudah sampai di cafe 90’s Love—cafe yang Jedean pilih—untung tidak terlalu ramai di dalam sini.

“waktu itu sempet lewat bareng Harsa sama yang lain.”

“ohh..”

“mesen sekarang aja, gapapa?” tanya Jedean, yang langsung diangguki oleh Lesya.

Jedean segera memanggil salah satu pelayan di sana. “americano satu, lo apa Sya?*

“hm… coffee late satu sama croissant satu, itu aja.”

“oke saya ulangi ya pesanannya, americano satu, coffee late satu, dan croissant satu ya. ada tambahannya lagi*”

“udah itu aja mba,” jawab Lesya.

pelayan itu pun pergi. “gua sambil ngerjain soal, gapapa Je?”

“santai, gua mau ngegame dulu juga aja*”


“udah? udah mau jam setengah enam, takut lo telat. gua bayar dulu aja ya.” baru saja Jedean ingin ke kasir, tetapi langsung ditahan oleh Lesya. “sebentar.”

“ini, tadi gua udah ngitung juga sih. 48 ribu punya gua,” ucap Lesya sambil memberikan uang 48.000 kepada Jedean.

“lah, kaga usah kali. santai gua bayarin aja Sya, ambil aja duit lo,” tolak Jedean.

“udah ambil itu duit gua, gua tunggu di luar.” Lesya berdiri dan berjalan ke arah luar cafe dengan meninggalkan duitnya di sana, yang mau tidak mau Jedean harus mengambilnya.

“masih harus baca-baca lagi?” Jedean dan Lesya sudah berada di dalam mobil, dan Lesya tetap saja membaca bukunya itu. “iya.”

“eh ini tempat les lo dimana?” tanya Jedean. “di inten.”

setelah itu, tidak ada percakapan apapun dari keduanya. sebenarnya jedean ingin sekali mengajak Lesya mengobrol, tetapi ia bingung harus apa.

tiga menit, lima menit, tujuh menit, masih belum ada percakapan apapun.

“eh Sya, lo tau—” baru saja Jedean ingin mengajak Lesya mengobrol, tetapi saat ia menengok ke kanan, ia melihat Lesya sedang tertidur.

kasian, kayaknya capek banget belajarnya, batin Jedean.

Jedean segera mengecilkan radio mobilnya, dan menurunkan suhu AC mobilnya juga. agar Lesya nyaman, katanya.


“Sya, bangun. udah sampe di tempat les lo nih.” Jedean membangunkan Lesya pelan dengan mengelus pipi Lesya.

“eh, ketiduran ya…. maaf-maaf, maaf banget Je.” seketika Lesya panik.

“ga, santai aja Le. kumpulin dulu aja nyawa lo.”

“gua keluar ya, udah jam segini juga. thank you banget udah ngajak ke cafe yang ternyata lumayan juga, thanks juga udah mau anter ke sini.” baru saja Lesya ingin membuka pintu mobil, tetapi langsung ditahan oleh Jedean.

“sebentar, iya sama-sama. jangan terlalu paksa diri lo belajar ya, belajar boleh, tapi jangan sampe sakit. istirahat yang cukup juga, jangan lupa makan sama minum yang bener juga. semangat Lesya.”

Setelah mendapat kabar dari Dinda, Renjun segera menuju ke bandara. Jika biasanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, kali ini Renjun hanya menggunakan waktu 20 menit untuk sampai di bandara.

Sha, tunggu… tunggu gua. Jangan pergi dulu, Sha, batin Renjun.

Renjun sudah sampai di dalam bandara dan mencoba menghubungi Dinda untuk menanyai posisi mereka ada di mana.

Sekarang, Renjun sudah berada di depan Roti Boy, tetapi ia tidak menemukan siapapun di sana. Tidak ada Disha, sang kekasihnya, dan juga tidak ada Dinda di sana.

Gua... telat? lo dimana, Sha, gua... udah di sini. lo beneran pergi? lo beneran ninggalin gua sendiri di sini? Sha, apa lo ga mau cerita dulu atau kita omongin baik-baik dulu? gua telat, ya, Sha? lo bener-bener udah pergi, ya?, batin Renjun.

Renjun terus menengok ke kanan ke kiri, masih mencoba untuk menemukan Disha... walaupun pada akhirnya usahanya sia-sia, tidak ada Disha di sana.

Tanpa sadar air mata Renjun turun tanpa diminta, kakinya terasa lemas dan tak sanggup lagi untuk berdiri.

Renjun pun terduduk lemas di pinggiran sana. Ia bahkan idak peduli jika orang-orang akan melihatnya aneh. Yang ada dipikirannya sekarang hanya Disha, kesayangannya.

Sha… lo beneran udah gak di sini, ya? gak ada salam perpisahan, Sha? gua bener-bener sendirian... di sini?, batin Renjun.

Saat Renjun masih terduduk lemas di sana, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang yang ia tidak kenal.

Bahkan, Renjun tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan dari genggaman di tangannya. Ia mengikuti kemanapun orang tersebut membawanya.

“Lo ngapain di situ, kak? lo ngapain lagi duduk di sana? lo mau jadi perhatian semua orang?!” Renjun masih menunduk, ia tidak mendengarkan perkataan seseorang di depannya itu. Entah pikirannya lagi dimana dan kemana.

“Kak.” panggilnya lagi, sambil menaikan dagu Renjun agar Renjun menatapnya.

“D-disha?” Renjun terkejut bukan main saat mengetahui Disha lah yang berada di depannya sekarang.

“Lo tuh, ya, kak! suka banget nyari masalah. Tadi kalo ada yang kenal lo terus mer—”

“Gini dulu, Sha, sebentar... gua kangen banget sama lo.” belum sempat Disha menyelesaikan perkataanya, tubuhnya sudah lebih dahulu dipeluk.

Disha tentu terkejut dengan perlakukan Renjun yang tiba-tiba. Tetapi secepat mungkin Disha langsung memeluk balik laki-laki di depannya itu. Memeluknya tidak kalah erat, dan memberikan elusab pelan dipunggungnya.

Keduanya sama-sama tenggelam dalam rasa rindu yang sudah mereka tahan dari lama itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara isakan dari Renjun.

“Jangan tinggalin gua, Sha,” ucapnya disela-sela tangisan.

“Iya... engga, kak. Tapi ayo jangan di sini, nanti diliatin orang-orang.” Disha melepas pelukannya. Pertama yang diliatnya adalah terlihat wajah Renjun yang memerah dan matanya yang sembab. “Udah jangan nangis, ayo pergi dulu.” Disha mengusap pelan air mata renjun sebelum mereka pergi dari sana.


“Jadi, gimana?” tanya Disha.

Sekarang mereka berdua sudah berada di dalam rumah Renjun. Atau lebih tepatnya berada di ruang santai. Sebelumnya Renjun bingung ingin membawa Disha kemana, sehingga ia memutuskan untuk membawa Disha ke rumahnya.

“Lo... gak jadi pergi, sha?”

Terlihat bingung dari wajah disha. “Hah, pergi ke mana?”

“Loh, lo ke bandara mau pergi kemana?”

Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Disha malah tertawa yang membuat Renjun makin terlihat bingung di sana. “kok ketawa sih?”

Cepat-cepat Disha menyelesaikan tawanya, agar kesalahpahaman ini tidak berlangsung lama. “Gua ke bandara nganterin kak Doy soalnya dia mau ke Jepang. Lagian kok bisa tau gua di bandara?”

“Dinda ngasih tau,” balas Renjun.

Setelahnya Renjun memeluk Disha, lagi. “Sebentar, ya, Sha. Gua akhir-akhir ini capek banget... gua kangen sama lo, tapi di sisi lain gua capek ngurusin buat balikin hubungan kita. gua bingung gimana caranya kita bisa balik kayak awal-awal lagi, Sha.”

Disha kembali mengelus punggung renjun, dan sesekali mengelus kepalanya.

“Maaf, ya, aku pergi buat nenangin semuanya. Aku ngerasa kalo kita masih berhubungan waktu itu malah bikin rumit semuanya. Maaf kalo ternyata aku salah, maaf bikin kamu capek sendirian, kak.”

Meskipun masih dalam pelukan, Renjun menyempatkan menggelengkan kepalanya. “Engga, kamu gak salah. Gak ada yang salah dari kita berdua, Sha, kita sama-sama bingung waktu itu. Dengan kamu gak ninggalin aku sekarang, aku udah berterima kasih sama kamu. Makasih ya, Sha, makasih udah tetep di sini. i still love you, Sha.”

Disha terkekeh pelan. “Me too, makasih juga udah mau berjuang buat aku dan buat kita. Aku kemaren liat tweet kakak! keren banget deh pacar aku.” Disha mencubit pelan pipi renjun.

Renjun tersenyum tipis, mungkin Disha juga tidak dapat melihat senyumannya itu. “Aku sesayang itu sama kamu, aku bakal lakuin apa aja buat kamu, Sha. Aku udah mikirin kemaren, kalo ternyata orang-orang tetep gak mau aku punya pacar dan mereka nyuruh aku berhenti... aku bakal berhenti.

“Tapi ternyata masih banyak sha yang dukung kita. Kalaupun nanti ada yang gak suka, gak usah didengerin, ya, Sha. Yang jalanin kita, kita yang lebih tau satu sama lain,” lanjutnya.

“Aduh, peluk-pelukan aja ini di sini. Siapa, bang, itu?”

Secepat kilat Disha langsung melepas pelukan itu saat mendegar suara dari depan mereka. Ah, sepertinya itu mamahnya Renjun.

“Loh, Mah, udah pulang. Ini Disha, yang sering abang ceritain.”

Dari wajahnya, terliat kaget dan juga bahagia menjadi satu. “Oh, ini Disha? ya ampun... sini sini, nak. Renjun suka banget loh ceritain kamu, kebetulan mamah baru beli makan, nih. Makan bareng-bareng, yuk,” ajak mamahnya Renjun.

“Ah, iyaa tante,” balas Disha, meskipun masih sedikit canggung.

“Kok tante, panggil mamah aja, ya, cantik. Dari dulu mamah kepingin banget ketemu sama kamu, tapi Renjunnya baru bawa kamu sekarang.”

“Eh… hehe, iya, mah.”

Sore itu terasa lebih bahagia untuk renjun dan disha. Semua masalah mereka sudah selesai. Tidak ada lagi salahpaham, dan tidak ada yang akan ditinggalkan. Tidak ada lagi yang menganggu dan juga tidak ada lagi putus kontak.

Hari di mana Disha bertemu dengan Vidya di mall.

“Loh, kak Vid lo habis ngobrol sama siapa?” tanya Nadya yang baru saja kembali dari toilet.

“Sama Disha, temen lama gua.”

Nadya seketika panik. “Sama siapa, kak, si Disha? cowok? Renjun?”

“Hah apaansih kok lo panik. Iya, sama cowok tapi ga tau siapa. Udah, ah, gua mau beli chatime sebentar,” jawab Vidya, meninggalkan Nadya yang masih memerhatikan disha dan laki-laki di sana.

Foto dulu aja, deh. Nanti tinggal kasih ke Talita, batin Nadya.

Hari di mana Disha mengambil barangnya di cafe.

chap. 264

“Rajendra? Disha punya pacar atau gimana?”

Terhitung sudah lima menit Disha meninggalkan cafe itu, namun Nadya masih memikirkan apakah Disha benar sudah berpacaran, dan siapakah Rajendra?

“Eh, halo, kak Nad!” panggil Talita saat sampai di cafe Nadya bekerja. “Loh, Tal, ke sini? tumben sendirian.” Nadya sedikit terkejut dengan sapaan tiba-tiba itu.

Talita segera menuju ke tempat duduk yang dekat dengan nadya berdiri. “Tadi ngajakin Dinda sama Disha, tapi ga bisa dua-duanya.”

“Loh, tadi Disha baru aja ke sini. Barusan dia ngambil barang-barangnya yang masih ada di sini,” ucap Nadya sambil ikut duduk di depan Talita.

“Eh, iya, Tal. Disha udah punya pacar apa gimana? tadi gua ga sengaja liat di notifnya dipanggil sayang sama Rajendra. Lo kenal Rajendra?”

“Rajendra? engga, sih. Tapi agak familiar, deh, kak.”

Talita terlihat sedang berpikir. Ia merasa sangat familiar dengan nama tersebut... namun, siapa?

“Kak… lo mau bantuin gua ga, kak?” sambung talita

“Bantuin apa?” Terdengan nada bingung dari ucapannya.

“Gua… gua selama ini ga suka sama Disha. Lo tau, Kak, selama ini Disha selalu jadi perhatian semua orang. Dia selalu dapet apa yang dia mau, dia selalu didukung sama orang-orang di sekitarnya.

“Dan gua gak suka itu. Gua selalu bareng-bareng sama dia dari dulu, tapi selalu dia yang lebih beruntung.

“Setidaknya kalau gua ga bisa dapetin apa yang gua mau, dia juga ga boleh sebahagia itu. Lo cukup bantu gua dikit-dikit aja nanti, kak. Buat duit, gampang. Gua bakal transfer ke lo, kak. Lo lagi butuh duit kan?”

Satu detik, dua detik, sampai tiga puluh detik, Nadya belum menjawab apapun. Ia masih bingung. Ia masih bingung dengan semua ini. “*Lo… serius, Tal?”

“Gua gak pernah seserius ini, kak. Lo pikirin dulu aja baik-baik. Gua bakal transfer duit ke lo, jadi ya semoga lo bisa terima ini, ya, kak.*”


Hari sudah malam, dan Nadya masih memikirkan tawaran dari Talita. Di satu sisi ia tidak mau menjatuhkan Disha yang sudah sangat baik kepadanya, dan di satu sisi ia sangat membutuhkan duit untuk kehidupannya.

Sambil masih berpikir, Nadya menyempatkan untuk membua App Twitter. Namun begitu terkejutnya Nadya saat melihat postan Twitter dari @Nctgongong.

Nadya masih memerhatikan tweet itu dengan seksama. Memikirkan apakah ini Rajendra yag ia bahas dengan Talita tadi... atau bukan. Nadya semakin terkejut saat dengan tiba-tiba Talita meneleponnya.

“Halo, Tal?”

“Besok gua ke cafe lagi ya, kak. Kalo bisa, gua mau jawaban lo besok. Udah gua tutup ya, kak. Pertimbangin lagi dengan baik-baik. Inget, gua gak bakal ngasih lo duit dikit, kak.”

Setelah itu, telepon terputus. Meninggalkan Nadya yang masih mematung dan teleponnya yang masih setia di telinganya.


Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sekarang, Talita sudah berada di cafe dan sudah duduk bersama Nadya.

“Lo pasti udah liat postan NCT kemarin kan, kak? gua agak gak yakin beneran renjun atau engga, tapi kenapa kita gak sekalian cari tau? dan kalo bener, ini bakalan jadi rencana yang bagus buat jatuhin Disha. Ah, bayangin Disha hancur aja udah bikin gua seneng.gimana kalo beneran kejadian,” ucap Talita.

Hening. Nadya bingung harus bereaksi atau membalasnya dengan bagaimana.“Tal… lo beneran?” Nadya masih sedikit ragu.

“Beneran. Dan gua sangat yakin sama rencana gua kali ini. Udah dari lama gua mau lakuin ini, kak. tapi gua gak bisa kalo sendiri, makanyagua ngajak lo. Gua beneran bakal kasih lo duit yang banyak, dan lo gak perlu terlalu terjun ke rencana gua.

“Lo cukup cari info dan lo share foto-foto mereka ke akun besar.” Talita kembali meyakinkan Nadya, bahwa ia bener-benar siap dan yakin untuk menjalankan misi ini.

“Malem. Malem bakal gua jawab,” ucapnya masih sedikit ragu, “Kasih gua waktu sampe malem, Tal. Gua bakal kasih jawabannya pas malem.”


setelah mendapat kabar bahwa harsa sudah dekat, lesya sekarang sudah berada di dekat gerbang, agar harsa tidak sulit menemukannya.

tin’ suara klakson mobil terdengar, “hel, cepatan sini masuk.” ah, ternyata harsa sudah sampai. tetapi mengapa harsa berada di kursi penumpang?

eh, gua kira lo sendiri,” ucap lesya saat sudah duduk di mobil yang ia tidak ketahui milik siapa.

mobil gua di bengkel, jadi nebeng sama jedean. eh lo masih eknal kan sama jedean?

halo sya,” sapa jedean.

oh, yang kemaren ngajak balik bareng? btw iya halo.

setelah mendergar perkataan lesya, harsa langsung tertawa, “yang lo katain fak boy sya.”

eh, bercanda doang sih. sorry-sorry.

santai aja, btw ini kemana? gua kaga tau jalan,” kata jedean, dan setelahnya harsa menunjukan jalan ke rumah lesya.


widih bang, banyak banget lo bawa dari chigago.” sekarang lesya, harsa dan jedean sudah sampai di rumah lesya, dan sudah bertemu bersama bang jo.

ambil dah sa terserah lo mau yang mana aja, btw ini siapa? pacar lo, dek?” tanya bang jo kepada lesya sambil menunjuk ke arah jedean.

hah apaan, bukan. temennya harsa.

oh.. kirain, nih lo siapa namanya, ambil juga aja terserah.

jedean yang merasa sedang diajak ngobrol pun segera memperkenalkan diri, “jedean bang, iya makasih banyak bang.

ya dah, gua ke atas dulu mau beresin kamar, soalnya ntar ada temen gua.” sebelum ke atas, bang jo menepuk pelan punggung harsa dan jedean, seperti izin pamit ingin ke atas.


dek, lo sibuk ga gua mau, eh sa. lo masih di sini?” tanya bang jo saat melihat masih ada harsa dan jedean di rumahnya.

iya bang, bentar ye. ps-an dulu sebentar.

jo berjalan ke arah mereka berdua, “santai, main aja main.

dek,” panggil jo.

terdengar suara pintu terbuka dari kamar lesya, “apaan.

beliin makan sama minuman di alfa dong, tolong. gua gak bisa, mau nunggu pada dateng soalnya.

ih, naik apaan. pake gojek aja sih,” tolak lesya.

minta anter harsa, atau temennya ini,” jawab bang jo

harsa yang masih fokus bermain ps pun sedikit kesusahan untuk menjawab, “an, an, tolong an anterin. gua masih main nih.

eh, boleh sih. gapapa sya?” tanya jedean.

yauda deh, buruan.


kaga ada lagi nih sya? cukup ini aja?” jedean melihat belanjaan yang ia pegang, “iya udah ini aja, sini gua ke kasir dulu. lo duluan aja ke mobil.

jedean segera mengantar lesya ke kasir, dan menaruh belanjaanya di sana. katanya sih tidak mau lesya keberatan membawa belanjaan yang cukup banyak itu.

ini belanjaanya ya kak, terima kasih selamat datang kembali.” baru saja lesya ingin mengambil belanjaanya, tetapi sudah diambil terlebih dahulu oleh jedean. “udah jalan aja le, berat kalo lo yang bawa.

langsung pulang aja kan ini?” tanya jedean saat sudah berada di mobil.

iya.

eh sya, kemarin gua dm lo di instagram. cuma kayaknya lo kaga liat ya?” ucap jedean membuka percakapan.

kayaknya ketutupan sama dm lain, nanti gua liat deh. username lo apaan?

jedeanarkano,” jawab jedean.

oke.

sini belanjaanya gua aja yang bawa turun.” mereka berdua sudah sampai di rumah lesya, memang jarak antara rumah lesya dan alfa tidak terlalu jauh.

loh, harsa kemana bang?” tanya jedean

pulang duluan naik gojek, katanya buru-buru.

oalah, yauda saya izin pulang juga ya bang,” pamit jedean.

iya, makasih dah ya jedean udah dianterin.

sama-sama bang, sya, pamit ya gua,” ucap jedean sebelum benar-benar keluar dari rumah lesya.

Na... kenapa ya udara di sini adem banget, aku rasanya pengen tinggal di sini aja deh,” ucap Raella. tempat ini, atau bisa dibilang taman ini, adalah taman yang sering dikunjungi oleh Raella dan Nandra. alasannya, karena sepi dan udaranya sangat sejuk di sini.

Nandra yang melihat kekasihnya sedang menikmati sinar matahari itu pun segera merapihkan rambut kekasihnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin. “kamu mau aku bikinin rumah di sini?” tanya Nandra.

mendegar itu, Raella segera memberikan tatapan marah. “apaan sih, Nan. enggak gitu juga, enggak perlu sampe bikin rumah dong. kan kita bisa ke sini terus, setiap minggu juga gapapa,” kata Raella. seharusnya Nandra takut, tetapi ia malah tertawa.

gemes banget, pipinya kalo lagi marah gini jadi lucu, batin Nandra.

ketawa terus ah kamu Nan, emang lucu? aku lagi marah loh?” Raella memberikan ekspresi marahnya, katanya agar Nandra takut. tetapi sayangnya malah terlihat lucu bagi Nandra.

iya-iya, maaf yaa Raella sayang.” Nandra mencubit pipi Raella pelan. “ih sakit tau,” protes Raella.

setelah mencubit gemas pipi Raella, Nandra bergerak untuk menaruh kepalanya di atas paha Raella. “aku agak ngantuk deh La, tidur sebentar boleh ya,” izin Nandra. dan langsung diangguki oleh Raella.

Nandra sudah memejamkan matanya, dan Raella hanya memandang wajah lelakinya itu dari atas. sesekali ia juga memainkan rambut Nandra.

aku sayang kamu,” ungkap Raella. Nandra yang mendengar itupun segera membuka matanya. “tiba-tiba banget?

hehe, gapapa. aku sayang banget sama kamu Nan, aku bersyukur banget punya kamu. aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya saat menjalin hubungan, tapi pas bareng kamu... aku bener-bener bahagia banget.

La, kamu tau kan aku juga sayang sama kamu. aku sayang, sayang, sayang banget sa—,

bocah gila, bangun gak lo. gak liat ini gerimis, lo mau kehujaan terus sakit, hah?

entah darimana datangnya Hardi—teman Nandra—yang malah menghancurkan momen indahnya yang harusnya terjadi antara dirinya dan Raella.

ah sial, kenapa.. kenapa harus berhenti. tadi gua baru aja ngeliat wajah Raella, lagi. tapi kenapa tiba-tiba hilang, batin Nandra.

bangun gak lo cepetan, jangan sampe lo gua seret ya Nan. bangun, cepetan keburu hujan makin gede.” melihat Nandra yang tidak kunjung merubah posisi awalnya, Hardi segera mengangkat Nandra, dan mengajak laki-laki itu untuk pergi dari sana sebelum hujan akan turun lebih deras.


lo tadi naik apaan ke sini?” tanya Hardi. sekarang Hardi dan Nandra sudah berada di dalam mobil milik Hardi. “grab, apaan lagi. gua belom seberani itu buat nyetir sendiri,” jawab Nandra tidak semangat, ia sedikit kecewa. tadi... tadi ia baru saja bertemu dengan gadis kesayangannya. tetapi harus berakhir begitu saja karena kedatangan Hardi.

lo mau kemana, gua anterin sini,” tawar Hardi.

Nandra terlihat diam sebentar, “ke tempat Raella, tolong.

yakin?” Hardi hanya ingin memastikan, dan diangguki oleh Nandra.


gua gak usah turun ya, lo hati-hati. gua tunggu di mobil, kalo ada apa-apa telpon aja.” Hardi memutuskan untuk tinggal di mobil, membiarkan Nandra menghabiskan waktunya dengan mantan kekasihnya itu.

sekarang Nandra sudah berada di tempat peristirahatan terakhir Raella, terdapat nama lengkap Raella di sana. setelah sampai di depan, Nandra langsung duduk bersimpuh. tidak peduli jika tanah di sana akan mengotori celananya.

halo, Raella sayang. aku dateng lagi loh ke sini, kamu dulu suka banget kan kalo aku nemuin kamu? kamu... gimana di sana? jujur La, aku masih belum yakin ini beneran nyata, belum yakin kalau kamu benar-benar secepat itu ninggalin aku.

inget gak La, pas kelas sebelas aku pindah ke sekolah kita dulu. di saat yang lain selalu mencari perhatian ke aku, kamu malah perempuan pertama yang ngelewatin aku gitu aja. dari situ aku mulai penasaran sama kamu, aku jadi merhatiin kamu terus, dan nyari-nyari info tentang kamu.

eh kelas duabelas kita malah sekelas kan La, terus pas penentuan tempat duduk, kita malah sebelahan. tapi kamu bener-bener cuek, enggak nganggep aku ada malah waktu itu.” Nandra tertawa kecut, mengingat kembali saat ia mencoba pendekatan kepada Raella dulu.

tapi lama-lama kita malah jadi deket. sampe akhirnya pas semester dua aku beraniin diri buat nembak kamu di taman yang biasa kita datengin. aku pikir, kamu bakalan nolak La. tapi ternyata kamu malah nerima, aku seneng banget pas denger jawaban kamu waktu itu.

semenjak kita pacaran, aku selalu bangga-banggain kamu di depan anak-anak lain, mau kasih tau mereka kalau aku punya pacar yang pinter dan baik banget kayak kamu. kayaknya mereka juga sampe bosen deh dengerin cerita aku tentang kamu terus.

La, maaf tadi aku enggak nempatin janji kita. padahal kita udah saling janji kalau mau ke taman gak boleh sendiri, harus ngajak satu sama lain. maaf ya La. dulu kita bisa 2–3 kali ke taman itu ya, itu udah kayak rumah ke dua kita. taman itu juga menjadi saksi saat aku nembak kamu, dan menjadi saksi semua perjalanan hubungan kita.

pokoknya dulu hidup kita bahagia banget ya La, karena pikiran kamu juga yang dewasa, kita jadi jarang banget berantem. aku sesayang itu La sama kamu, tapi kayaknya tuhan lebih sayang ya sama kamu?

aku kaget banget waktu bunda kamu nelpon pagi-pagi, dan bilang kamu udah engga ada. padahal malemnya kita masih bareng loh La, kita abis night drive sesuai keinginan kamu. aku kira itu prank, aku kira itu enggak beneran. tapi pas aku nyampe rumah kamu, aku bener-bener ngerasa dunia aku berhenti La.

aku... aku enggak sanggup pas liat kamu pake kain putih waktu itu.” air mata yang Nandra tahan dari tadi, akhirnya jatuh juga. ia sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya, Nandra teringat kembali pada hari di saat Raella sudah tidak ada.

aku enggak sanggup ngeliat wanita yang aku sayang, udah enggak ada lagi di dunia ini. ngeliat wanita yang selama ini bareng sama aku, udah dipanggil duluan sama tuhan.

udah enggak ada lagi Raella yang bakal marahin aku kalau aku terlalu lama main game, udah enggak ada lagi Raella yang bakal marah kalau aku cubit pipinya, udah enggak ada lagi Raella yang bakal nemenin aku cari spot-spot foto, udah enggak ada lagi Raella yang bakal usap rambut aku, udah enggak ada lagi Raella yang bakal pergi bareng sama aku ke taman, udah enggak ada lagi Raella yang mau dengan senang hati menjadi model percobaan camera baru aku, udah enggak ada lagi Raella yang bakal nenangin aku kalau aku lagi capek, udah enggak ada lagi Raella yang bakal dengan sabar ngasih tau pas aku ngelakuin kesalahan, udah engga ada lagi senyuman Raella yang menjadi kebahagian aku beberapa tahun terakhir, dan.. sudah tidak ada lagi Raella, gadis aku yang paling aku sayang di dunia ini.

ah sial, gua bener-bener kangen sama Raella. La, gimana caranya aku jalanin hidup habis ini tanpa kamu? batin Nandra

ternyata merelakan orang yang kita sayang, sesusah itu ya La. aku... masih enggak percaya bakal ditinggal kamu secepat ini, kalau tau malam itu bakal menjadi malam terakhir kita, aku enggak bakal berhentiin mobil la. aku bakal ajak kamu jalan sampai pagi, sampai... sampai... kamu enggak bakal tinggalin aku sendiri di sini.

masih teringat jelas La, senyuman kamu malam itu. masih teringat jelas, bagaimana muka kamu yang sangat senang karena akhirnya kamu bisa makan McD lagi. masih teringat jelas suara tawa kamu malem itu, semua masih teringat jelas.... La.” Nandra tersenyum, mengingat kembali bagaimana senyum indah Raella pada malam itu. tapi siapa sangka, itu akan menjadi senyuman terakhir yang Raella beri kepada Nandra.

gimana caranya La, lupain kamu di saat kita udah bareng-bareng hampir empat tahun, aku sesayang itu sama kamu. tapi kalau aku enggak ikhlas, kamu enggak bakal tenang di atas sana ya? aku coba pelan-pelan ya La. tapi maaf kalau aku masih suka nangis pas malem karena keinget dan kangen sama kamu.

dulu aku kalau kangen, pasti langsung ke rumah kamu. sekarang... aku cuma bisa mandang foto kamu di galeri, dan baca ulang chat kita, La.

sampai kapanpun, kamu bakal punya space sendiri di hati aku La. aku enggak bakal lupa sama kamu, bahkan kamera pemberian kamu pas ulang tahun aku tahun lalu, bakal aku rawat sehati-hati mungkin.

yah La, gerimis lagi. aku balik dulu ya? nanti aku bakal sering ke sini buat ngunjungin kamu, biar kamu enggak sendirian. okey? tunggu aku ya La, tunggu aku agar kita bisa bersama lagi, nanti. i love you, aku bakal selalu sayang kamu.” Nandra segera berdiri, merapihkan celananya, dan mengusap air matanya yang masih tidak berhenti turun.

aku izin pamit, nanti aku ke sini lagi. i love you, Raella.

—olenjiyeou.

Harsa segera turun dengan sedikit berlari agar tidak membuat orang di depan rumahnya itu menunggu terlalu lama. “Iya, sebentar.”

setelah berada di depan, Harsa langsung membuka pintu tersebut. “Iya, siapa ya?” tanya harsa kepada seseorang di depannya itu, harsa tidak dapat melihat wajahnya karena seseorang itu menghadap ke belakang.

“Hi, sayang.”

Harsa sangat terkejut melihat siapa yang berada di depan pintu rumahnya saat ini. Iya Qilla, Qilla kekasihnya.

“Hehe maaf, ya, aku telat banget, tadi naik kereta dulu soalnya jadinya lama. Kuenya juga agak mencair deh ini, tapi gapapa ya, sa? ini tiup dulu. Jangan lupa berdoa!” ucap Qila, dengan kue di tangannya bertulisan “happy birthday Harsa” lalu menyuruhnya untuk segera meniup lilinnya, agar tidak cepat meleleh.

Harsa segera meniup lilin di depannya dengan keadaan masih setengah sadar, tidak menyangka gadisnya akan berada di depannya sekarang.

“Yeay! aku taruh di kursi dulu, ya.” Qilla segera menaruh kue tersebut di kursi sebelahnya.

“Selamat ulang tahun, Harsa Bumi Kallandra. Tahun ini kamu udah 21 tahun, udah mulai dewasa, ya. Engga nyangka kita sudah mau tiga tahun bareng-bareng. Dari kita masih di rok abu-abu, sampe kita udah kuliah sekarang.

“Kamu gak pernah berubah, sa. Selalu menjadi laki-laki yang aku kagumi setelah ayah. Aku selalu suka bagaimana cara kamu menjaga dan memperlakukan aku sebagai wanita. Aku beruntung bisa kenal, dan menjadi wanita kamu saat ini.

“Walaupun kamu suka sedikit konyol, tapi kamu sangat pintar menempatkan waktu dimana kamu harus serius dan kapan kamu bisa bercanda kayak gitu. Aku tau kamu selama ini udah melewati waktu yang sangat sulit, kan? kamu selalu mau menjadi lelaki yang kuat di depan aku, padahal menjadi lemah itu gapapa loh, sa.

“Aku bakal siap menjadi sandaran kamu kapan aja, kayak gimana kamu selalu nenangin aku kalau aku lagi sedih. Nanti aku puk-pukin kepala kamu kayak gini,” ucap Qilla sambil mencontohkan bagaimana Harsa akan menepuk pelan dan mengusap kepalanya kalau ia sedang tidak baik-baik saja.

“Makasih, ya, Harsa sudah bertahan sampai sekarang, kamu keren, sa. Kamu hebat sudah berjalan sampai sekarang, tetap begini terus, ya, sa. Aku... aku udah nyaman banget sama kamu, aku belum sanggup kalau harus berpisah dan memulai yang baru dengan yang lain.

“Terakhir, aku sayang kamu. Aku selalu berterima kasih kepada tuhan telah mempertemukan kita, dan aku berdoa agar tuhan akan tetap menyatukan kita sampai nanti. bertua bersama, ya, sa? tolong jangan terlalu mudah bosan dan meninggalkan aku yang lemah ini ya.”

Harsa langsung memeluk Qilla tanpa mengeluarkan kata sedikitpun. Harsa sesekali mengusap punggung Qilla, atau juga mengusap kepala Qilla pelan dengan kepalanya di pundak Qilla.

Qilla dan Harsa sudah bersama sejak SMA kelas tiga. Tetapi, sayangnya Qilla dan Harsa harus berpisah. Qilla harus pindah ke Jakarta bersama keluarganya. Tetapi, itu tidak menjadi alasan mereka untuk mengakhiri hubungannya, sebisa mungkin mereka menjaga hubungan mereka dengan baik.

Walaupun tidak selalu menghubungi 24 jam, karena mereka berdua tau kalau mereka sama-sama sibuk dan waktu mereka tidak selalu untuk satu sama lain.

Mereka kadang baru mengabari satu sama lain saat malam hari, menanyai kabar mereka hari itu, menceritakan semua hal yang terjadi hari itu, dan mengeluh bersama bagaimana capeknya mereka hari itu.

Menurut mereka, ldr tidak membuat hubungan mereka renggang. yang penting dalam hubungan, harus saling yakin, percaya, dan saling jujur.

“Makasih, banyak, Qilla. Kamu juga tau aku sayang banget sama kamu, kan?” akhirnya setelah lima menit mereka hanya berpelukan di depan rumah, Harsa kembali membuka percakapan.

“Aduh anak muda, ada Qilla, ya? masuk qill sini. Kangen bunda sama kamu, udah lama gak ketemu,*” ucap bunda Harsa, yang membuat qilla secepat mungkin melepaskan pelukannya.

Tidak enak, pikirnya.

“Eh, bunda, ini ada oleh-oleh dari Jakarta. Ada salam juga dari ibu, ada makanan kesukaan bunda juga, loh. Adek ada bun? aku bawain barang yang adek mau juga kemarin,* ucap Qilla, sambil menunjukan barang dan makanan yang ia bawa dari Jakarta.

“Ada tuh sih adek di kamar, panggil aja nanti. Aduh, tapi qill ini banyak banget, bawa masuk aja sini. Bunda juga lagi masak, kamu nanti makan dulu yaa. Sini-sini, qill, aduh peluk dulu deh. Kangen banget bunda sama kamu.*”

“Yah.... udah ini, mah, aku didiemin. Bunda kalo ketemu Qilla, akunya dicuekin. kan aku mau pacaran sama Qilla nda,*” rengek Harsa dengan perasaan sedikit cemburu.

Karena jika bundanya sudah bertemu Qilla, maka bundanya akan mengajak Qilla mengobrol hingga malam dan tidak membiarkan Harsa mengambil Qilla darinya.

“Pacaran mulu. Tuh, panggil dulu adekmu, tuh. Udah, ah, hari ini Qilla buat bunda dulu. Kami besok aja, Qilla agak lama kan di sini, nak?” tanya sang bunda, dan diangguki oleh Qilla.

Begitulah keadaan rumah harsa hari ini, tapi bagaimanapun harsa sangat bahagia. Masih diberi kesempatan untuk melihat keluarganya dan kekasihnya di hari ulang tahunnya, tahun ini.

Harsa berdoa agar ia diberi umur panjang, agar ia bisa membahagiakan dan melihat orang-orang yang disayangnya ini.

“Gila, dah. Gue kagak dipesenin makanan ini?” tanya Jeno, yang baru saja balik dari ruang guru.

“Pesen sendiri dah, sana. Oiya, sekalian nitip minum. Haus banget anjrit, lupa gua tadi beli,” jawab Haechan.

Tadi, setelah Haechan mampir ke kelas XII IPS 3 untuk menjemput Jaemin, mereka langsung ke kantin yang di mana sudah ada Renjun di sana menunggu teman-temannya datang.

“Dih, ogah. Tuh, suruh temen lu aja yang dari tadi udah duduk.”

“NAH, IYA, JUN. CEPET, JUN, BELIIN GUE MINUM. SERET BAT SERET NI TENGGOROKAN.”

“Kenapa jadi gue, anjing,” balas Renjun dengan tidak terima.

“Yaelah, sekali-sekali juga, sih. Lo ga pernah 'kan beliin kita minum. Lo nyuruh-nyuruh mulu dari dulu,” ucap Haechan, yang masih tekat pada pendiriannya untuk menyuruh Renjun membelikan minuman untuknya.

“Aelah. Yaudah, mana sini duit lo.” Akhirnya mau tidak mau, Renjun tetap membelikan Haechan minuman.

“Widih... akhirnya ngga, sih. Pertama kali, seorang Huang Renjun mau disuruh-suruh, haha.”

“Anjing, cepetan mana sini duit lo,” pinta Renjun, lagi. Yang setelahnya Haechan pun memberikan duitnya kepada Renjun.

Saat membeli minum, tidak ada hal special untul Renjun. seperti siswa biasa yang sedang membeli minuman sambil mengantri,

Tapi tidak bagi siswi yang berada tepat di belakang Renjun. Zidya. Iya, ada Zidya dibelakang Renjun tanpa sepengetahuan Renjun.