olenjiyeou

“Jadi, mamah ngga izinin kita bareng lagi?”

Sesuai perkataan Salma tadi, sekarang di jam istirahat, mereka sudah duduk bersama di salah satu meja di kantin.

Orang-orang sudah tidak heran lagi jika mereka selalu bersama. Walaupun kadang masih ada satu dua orang yang menatap mereka tidak suka.

Tetatpi maupun Salma ataupun Mahen, mereka orang yang tidak terlalu peduli. Tidak memasukan perkataan jahat itu ke hati mereka.

“Iya… Tapi mau tau yang paling ngagetin?” Salma memberikan sedikit jeda. “Gue sama Zara sodaraan,” lanjutnya.

Mahen langsung menatap Salma dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Kok bisa?”

“Maksud gua, kok… baru tau atau gimana?”

Salma menghela napasnya. “Ngga tau, bingung. Kadang mikir, dunia aneh banget ke gua.”

“Tapi Sal—”

cekrek

“Bukannya udah dibilang, ya, kalo ngga boleh bareng.” belum sempat Mahen menyelesaikan perkataanya, Zara tiba-tiba datang entah darimana.

“Lo.” Salma menatap Zara, “Ngapain lo di sini?”

“Kalo misalnya gue kirim ke mamah lo, gimana, ya, Sal?” bukannya menjawab pertanyaan Salma, Zara malah bertanya balik.

“Kira-kira bakal marah ngga, ya?” tanyanya dengan nada mengejek. “Lo mau apa, sih?” kali ini Mahenlah yang bertanya.

“Mau apa, ya? banyak tanya lo. Gue mau ke kelas, ah. Terus kirim ini, bye guys.”

Setelahnya, Zara benar-benar meninggalkan area kantin. Meninggalkan Salma dan Mahen yang saling tatap kebingungan di sana.

Mahen sudah sampai di rumah Salma sekitar lima menit yang lalu, dan kini mereka sedang berada di ruang tamu.

“Itu prom night beneran yang ngurusin anak kelas 10?” Salma baru saja balik dari dapur, megambil minum untuk Mahen.

“Iya, ada si Jidan sama Chalvin juga. Emang kenapa?”

Terlihat dari wajahnya, Salma seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan seperti ragu? ingin mengatakannya atau tidak.

“Kenapa? kamu mau ngomong apa, Sal?” akhirnya mau tidak mau, Mahenlah yang bertanya duluan.

“Aku sebenernya kepikiran buat kasih tau hubungan kita pas prom, cuma…masih bingung juga, sih.”

“Kemaren pas kumpul-kumpul latihan buat tampil prom, si Jidan keceplosan ngasih tau kita yang bakal jadi pemenang couplenya,” ucap Mahen.

Mendengar itu tentu saja Salma terkejut.

“Kok, bisa?” tanya Salma penuh kebingungan.

“Ngga tau, mau pas di situ aja? atau gimana, aku ngikut kamu.”

“Hm…” Salma sedang berpikir, “Yauda, tapi nanti kamu berangkat bareng Zara. Ntar aku bareng Raja.”

Seketika Mahen langsung melirik Salma dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin bingung, bukannya mereka ingin memberitahu hubungan mereka? lantas mengapa Salma menyuruhnya berangkat bersama Zara?

Why? aku ngga ngerti.”

Salma tertawa pelan. “Nanti kamu ajak Zara, buat dia mikir kalo kamu milih dia. Pasti dia bakal ngerasa menang, apalagi kamu yang ajak duluan.

“Pokoknya buat dia ngerasa menang dulu, and let’s see pas pengumuman couple.”

Wow, ide gila, tapi oke gua ikutin,” balasnya.

“Ada siapa? kok ada motor?”

Bukan, itu bukan suara Salma. Ah, ternyata mamah Salma baru pulang, entah darimana.

“Ada Mahen, mah.” Salma berjalan ke arah mamahnya, dan disusul oleh Mahen di belakangnya.

“Oh, masih bareng Mahen?” tanyanya dengan ketus. “Eh, iya, tante. Tadi mampir sebentar, maaf banget, tante, saya ngga bawa apa-apa ke sini.”

Mamah Salma melihat Mahen dari atas sampai bawah. “Oh, ya, ngga papa. Duduk dulu.”

Padahal niat awalnya Mahen ingin izin langsung pulang, tapi mau tidak mau, ia harus duduk kembali ke sofa tersebut.

“Bapak kerja apa, hen?”

Tanpa basa-basi, mamah Salma langsung memberika pertanyaan yang sensitif.

“BUMN, tante,” balasnya.

“Oh, gajinya berapa sebulan?”

Salma langsung menghadap ke mamahnya. “Mah…”

“Loh, ya, kenapa? kan biar tau, terus kamu nanti abis sekolah mau kerja apa?”

“Eh…lumayan, sih, tan. Cukuplah buat sekeluarga sebulan. Untuk sekarang belum kepikiran, sih, tan, kerja apa.”

Terlihat Salma sudah tidak nyaman dengan arah obrolan ini. “Mah…udah, ah. Ngapain nanya-nanya gini.”

“Loh, ya biar tau. Emang nanti kamu mau makan pake apa kalo dia aja ngga berpenghasilan. Cinta? ngga cukup, sal. Yaudah, sana kalo kamu mau pulang.”

Mahen langsung berdiri dari duduknya. “Eh, iya, tan. Izin pamit dulu. Sal, balik, yaa.”

“Jangan… jangan… jangan teriak-teriak. Salma nggak suka suara teriakan, mah. p ni tolong jangan teriak-teriak,” ucap pelan gadis berambut hitam yang berada dipojokan kamarnya.

Ya. Kira-kira seperti itulah yang dilakukan oleh Salma tadi malam.

Mungkin… seperti sudah kebiasaan, tetapi Salma selalu seperti itu setiap kali orang tuanya sedang ribut.

Dulu, keluarganya bisa dibilang sangat harmonis. Selalu makan bersama, pergi jalan-jalan di akhir pekan, saling cerita satu sama lain.

Keluarga berisi 4 orang itu sangat bahagia. Mamah, Papah, Abang, dan juga Salma.

Hingga tiga tahun terakhir bisa dibilang semua berubah. Keuangan keluarga mereka turun drastis karena papah Salma kehilangan pekerjaannya. Mamah Salma yang hanya seorang IRT-pun tidak bisa membantu apapun.

Kebutuhan pengeluaran yang banyak, tetapi Pemasukan tidak ada sama sekali yang membuat abang Salma mau tidak mau harus ikut bekerja.

Yang menjadi keributan adalah, papah Salma yang jarang pulang entah ke mana.

Sebagai seorang ibu, melihat anaknya yang harus bekerja, sedangkan suaminya yang sudah tidak bekerja itu jarang pulang pun kesal.

Sehingga menjadi keributan setiap kali papah Salma pulang ke rumah.

Teriak-teriak, banting barang sana sini, suara tangisan. Ah, Salma benci itu semua. Ia tidak bisa mendengar suara teriakan sehingga ia akan menutup kuping, berjongkok, dan menangis di pojokan.

Tetapi setiap kali Salma menangis terlalu lama, ia akan demam di pagi harinya.

Ya. seperti sekarang ini. Berdiam diri dari pagi di balik selimutnya, dengan keadaan menggigil.

Sangking paniknya, Mahendra sampai tidak ke kantin sekarang. Ia masih memikirkan, apa yang sedang terjadi dengan kekasihnya, Salma.

yaudah ntar pas balik aja, semoga lo gapapa ya, sal, batin Mahendra.

Mahendra sangat fokus dengan Handphonenya, sehingga tidak sadar sudah ada yang mengisi bangku di depannya.

Ya, ada Zara di sana.

“Hi, Hen.” yang dipanggil cukup kaget dengan sapaan yang tiba-tiba itu. “Oh, lo di sini.”

“Iya, eh Salma ngga masuk ya? tadi gua ngajak ketemuan gitu, tapi ngga dibales, padahal gua udah nunggu lama-lama loh, Hen. Panas lagi, parah ya si Salma?”

Terlihat ekspresi bingung dari Mahendra, “Lo ngapain ngajak ketemuan Salma?”

“Eh, oh, itu apa, pengen ngajak makan bareng tadinya, eh malah ngga dibales, dan bikin gue nunggu,” ucapnya dengan seolah-olah, ia sangat tersakiti di sana.

“Semalem gua chat juga, sih. Tapi ngga dibales juga, padahal kan ya, hen, gua tuh mau—”

“Lo semalem chat Salma?” belum sempat Zara menyelesaikan perkataanya, Mahen sudah lebih dahulu memotongnya.

tiga detik, empat detik, lima detik, tidak ada balasan apapun dari Zara. “Jawab, lo chat Salma semalem?” tanyanya, dengan sedikit emosi.

“Hah, oh… iya. Tapi ngga tau kok ngga dibales ya, padahal gua baik-baik loh chatnya tapi—”

Lagi, Mahen tidak membiarkan Zara menyelesaikan perkataanya. Ia langsung mengambil tasnya, dan pergi ke arah luas kelas. Meninggalakan Zara yang masih bingung di sana.

“Kasian, keringetan banget tuh hen … mau gua ambilin tisu?” Zara melihat Mahen yang penuh dengan keringat sekarang. Lari sepuluh putaran di siang hari seperti ini, tentu saja membuat Mahen banjir dengan keringat.

“Gua beliin aja deh, ya. Tunggu, tunggu di sini jangan kemana-mana.” belum sempat Mahen menolak, Zara sudah lebih dahulu pergi entah kemana. Tidak peduli juga sih, bagi Mahendra.

“Keringetan banget, pak?” Mahen segera menengok ke belakang, ke arah sumber suara yang rasanya sangat familiar baginya.

Ternyata benar, ada Salma di sana yang sepertinya baru datang dari kelasnya. “Keringetan banget, kasian. Butuh ambulance ngga nih?” candanya.

Mungkin bagi orang lain itu tidak lucu, tapi anehnya Mahendra tertawa karena candaan Salma tadi. Entah, baginya semua tentang Salma itu sangat menyenangkan.

Tidak peduli jika dibilang budak cinta, toh, ini pacarnya juga, kan?

“Sini, panas banget. Emang ya, parah banget. Lagi terik-teriknya gini malah disuruh lari.” Mahen menyuruh Salma untuk mendekat, sehingga berada persis di depan Mahen.

“Pasti lo bandel, ngga mungkin lo disuruh lari gitu aja, ya, kan?” ucap Salma, sambil mengelap pelan keringat Mahen menggunakan handuk kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.

Salma mengangkat poni Mahen, dan menaruh handuknya di dahinya. “Ih, udah panjang nih, rambutnya. Jangan lupa potong, loh.”

Mahen termasuk sulit dengan masalah potong rambut, katanya sih, keren rambut panjang. “Harus banget?” tanyanya, dengan mengerucutkan bibirnya.

“Iya, ntar ditemenin, deh. Eh, itu minum yang dari Zara?” Salma melihat minuman di pinggir lapangan, yang mirip dengan minuman yang diberikan oleh Zara. Yang ditanya hanya menganggukan kepalanya.

“Kok langsung minum berasa-rasa, sih? ngga sehat, dingin lagi, tuh. nih, minum air putih. Kasian perut lo.” Salma memberikan air putih yang sudah berada di tangganya dari tadi.

“Hehe, makasih, yang.” belum sempat Mahen meminum air putihnya, ia langsung diberi pukulan kecil dari Salma.

“Lo gila? ntar ada yang denger,” protes Salma. sedangkan, lawan bicaranya itu hanya tertawa.

“Loh, lo ngapain di sini?” tanya Zara yang entah kapan datangnya. “Oh, udah balik? lain kali kalo mau ngasih minum, jangan yang berasa-rasa. Lo mau Mahen sakit?”

Terlihat jelas wajah tak suka dari Zara, “Lo ngapain di sini?” tanyanya masih dengan pertanyaan yang sama.

“Lo kira lo doang yang bisa? gue juga kali, ya ngga, hen?” ucap Salma, sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Mahen.

“Lo.” tunjuk Zara, “pergi cepet, ganggu banget. Ngga usah genit, dia juga nggak mau sama lo, jadi mending lo pergi,” usirnya.

“Gue emang udah mau pergi, sih. Oke, deh, bye. Hen, jangan lupa ya, nanti sore,” ucap Salma, yang sebenarnya tidak ada apa-apa sih. Hanya ingin memanaskan Zara.

“Lo mau ngapain sama Mahendra? Sal? jawab?” tanya Zara, walaupun sia-sia karena Salma sudah pergi dari daerah lapangan.

“Kasian, keringetan banget tuh hen … mau gua ambil tisu?” Zara melihat Mahen yang penuh dengan keringat sekarang. Lari sepuluh putaran di siang hari seperti ini, tentu saja membuat Mahen banjir dengan keringat.

“Gua beliin aja deh, ya. Tunggu, tunggu di sini jangan kemana-mana.” belum sempat Mahen menolak, Zara sudah lebih dahulu pergi entah kemana. Tidak peduli juga sih, bagi Mahendra.

“Keringetan banget, pak?” Mahen segera menengok ke belakang, ke arah sumber suara yang rasanya sangat familiar baginya.

Ternyata benar, ada Salma di sana yang sepertinya baru datang dari kelasnya. “Keringetan banget, kasian. Butuh ambulance ngga nih?” candanya.

Mungkin bagi orang lain itu tidak lucu, tapi anehnya Mahendra tertawa karena candaan Salma tadi. Entah, baginya semua tentang Salma itu sangat menyenangkan.

Tidak peduli jika dibilang budak cinta, toh, ini pacarnya juga, kan?

“Sini, panas banget. Emang ya, parah banget. Lagi terik-teriknya gini malah disuruh lari.” Mahen menyuruh Salma untuk mendekat, sehingga berada persis di depan Mahen.

“Pasti lo bandel, ngga mungkin lo disuruh lari gitu aja, ya, kan?” ucap Salma, sambil mengelap pelan keringat Mahen menggunakan handuk kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.

Salma mengangkat poni Mahen, dan menaruh handuknya di dahinya. “Ih, udah panjang nih, rambutnya. Jangan lupa potong, loh.”

Mahen termasuk sulit dengan masalah potong rambut, katanya sih, keren rambut panjang. “Harus banget?” tanyanya, dengan mengerucutkan bibirnya.

“Iya, ntar ditemenin, deh. Eh, itu minum yang dari Zara?” Salma melihat minuman di pinggir lapangan, yang mirip dengan minuman yang diberikan oleh Zara. Yang ditanya hanya menganggukan kepalanya.

“Kok langsung minum berasa-rasa, sih? ngga sehat, dingin lagi, tuh. nih, minum air putih. Kasian perut lo.” Salma memberikan air putih yang sudah berada di tangganya dari tadi.

“Hehe, makasih, yang.” belum sempat Mahen meminum air putihnya, ia langsung diberi pukulan kecil dari Salma.

“Lo gila? ntar ada yang denger,” protes Salma. sedangkan, lawan bicaranya itu hanya tertawa.

“Loh, lo ngapain di sini?” tanya Zara yang entah kapan datangnya. “Oh, udah balik? lain kali kalo mau ngasih minum, jangan yang berasa-rasa. Lo mau Mahen sakit?”

Terlihat jelas wajah tak suka dari Zara, “Lo ngapain di sini?” tanyanya masih dengan pertanyaan yang sama.

“Lo kira lo doang yang bisa? gue juga kali, ya ngga, hen?” ucap Salma, sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Mahen.

“Lo.” tunjuk Zara, “pergi cepet, ganggu banget. Ngga usah genit, dia juga nggak mau sama lo, jadi mending lo pergi,” usirnya.

“Gue emang udah mau pergi, sih. Oke, deh, bye. Hen, jangan lupa ya, nanti sore,” ucap Salma, yang sebenarnya tidak ada apa-apa sih. Hanya ingin memanaskan Zara.

“Lo mau ngapain sama Mahendra? Sal? jawab?” tanya Zara, walaupun sia-sia karena Salma sudah pergi dari daerah lapangan.

“Eh, Sal. Itu lo buka handphone gua deh, terus lo buka yang chat dari Zara,” suruh Mahen. Salma yang disuruh pun langsung mengambil handphone milik Mahen yang berada di dalam tasnya.

Tak perlu menggunakan password, karena sudah ada fingerprint Salma di sana. Meskipun mereka saling memiliki fingerprint di handphone masing-masing, bukan berarti mereka dapat membuka handphone salah satu dari mereka tanpa izin. karena bagi mereka, mereka masih memiliki privacy, yang salah satu dari mereka tidak boleh ketahui.

Jika orang-orang akan bertanya, “Emang nggak takut selingkuh, tuh?” Ya… yang penting saling percaya dan jaga hati masing-masing. Tapi balik lagi semua terserah pasangan masing-masing, yang penting harus ada kesepakatan dari dua belah pihak.

Salma membaca pesan dari Zara ips 3, namun tidak ada balasan apapun dari Mahen di sana. “Kok nggak dibales?” tanyanya.

“Ya, males. Lagian nggak deket juga. Oiya, belom cerita ya gua. Dia kadang suka pindah duduk depan aku, terus minta temenin ke kantin atau ke depan gitu. Tapi nggak aku ladenin sih, biar kamu tau aja danb nggak salah paham nanti.”

Salma yang mendengar penjelasan dari Mahendra pun hanya mengangguk, dan menjawab, “Oh.. gapapa, sih. Santai aja, kalo mau nemenin juga gapapa kali, Dra.”

“Nggak, ngapain. Males, ah. Eh, iya, kamu mau main-main dikit tuh maksudnya gimana? aku nggak ngerti.” Dipikir-pikir, Salma pun belum pernah menjelaskan apa yang ia maksud dengan “sedikit bermain-main” nya.

“Belom kepikiran banget, sih. Cuma kalo kamu nggak keberatan, kasih tau aja apa yang dilakuin si zara ke kamu,” jawab Salma. Mahendra hanya menganggukan kepalanya.

Tidak berasa saking asyiknya mereka mengobrol, sekarang mereka sudah sampai di depan sekolah. Mahendra segera memarkirkan mobilnya di tempat parkir mobil.

“Loh, lo kok bareng Mahendra?” baru saja Salma dan Mahendra keluar dari mobil, mereka sudah disambut dengan pertanyaan dari Zara, yang entah kapan datangnya.

Zara bolak-balik menatap mata Salma dan Mahendra. “Kan udah gua bilang, Sal. Bersaing secara sehat, lo nggak ngerti bahasa indonesia, apa, gimana?” tanya Zara dengan intonasi yang sedikit tinggi.

“Masih pagi, udah sana lo ke kelas, Sal,” usir pelan Mahendra, tujuannya agar tidak ada keributan. Pasalnya ini masih pagi, dan tidak enak menjadi tontonan murid lain.

“Lo.” tunjuk Zara kepada Salsa, “Gua tunggu nanti di kantin.” suruhnya.

“Eh, sorry, gua nggak makan di kantin sih. Palingan nanti ke Mall depan, atau engga, ya, go food.” bohong Salma. Tidak, Salma sangat suka makanan kantin, kok. Ini agar terlihat keren aja, sih.

“Udah, gua duluan deh, ya. Lo kalo mau ngomong, sama Mahendra aja, tuh,” ucap Salma, sebelum ia benar-benar meninggalkan parkiran.

Mahendra dan Salma sudah menjalin hubungan selama satu tahun semenjak kelas 10 semester dua. Tetapi mau tidak mau, mereka harus memilih menyembunyikan hubungan mereka.

Peraturan sekolah. Semua siswa dan siswi yang mengikuti olimpiade, tidak diperbolehkan menjalin hubungan dengan siapapun. Dan sialnya, Salma sedang mengikuti olimpiade saat itu.

Pertemuan pertama mereka saat duduk di bangku SMP, namun saat itu mereka hanya sekedar saling kenal. Sampai di mana mereka dipertemukan kembali di SMA, dan semakin dekat.

Pulang bersama, pergi bersama, dan pergi ke kantin bersama. Hingga suatu hari, Mahendra menyampaikan isi hatinya kepada Salma. Salma yang memiliki perasaan yang sama pun, tidak menolak ajakan menjalin hubungan dari Mahendra.

Tetapi, mereka harus memilih backstreet, karena Salma sedang mengikuti Olimpiade saat itu. Dan memilih kesepakatan untuk mengumumkan hubungan mereka saat kelas sebelas nanti.

Sehingga yang mengetahui hubungan mereka, hanya teman-teman Mahendra. Karena mereka sudah bersama sejak SMP.

“Berarti nggak jadi kasih tau hubungan kita?” tanya Mahen. Sekarang mereka sudah berada di salah satu cafe ternama di Jakarta. “Iya. gapapa, kan? bentar doang, pengen main-main dikit.”

“Emang kenapa, deh? tumben banget.” Mahendra kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. “Gapapa, sekali-sekali. Eh, tapi kalo kamu nggak mau, gapapa, loh. Aku ngikut kamu aja.”

“Iya. Gapapa, Sal. Tadi lo di sekolah, gimana?”

Ah, iya. Walaupun sudah berpacaran, mereka kadang masih menggunakan lu—gua. Tidak ada yang keberatan, karena menurut mereka, menggunakan panggil apapun sama saja. Tidak merubah apa-apa juga.

“Ya, gitu. Ada tugas fisika, kamu tau sendiri aku paling males sama fisika. Mana banyak banget lagi, pusing.” Mahendra yang melihat ekspresi Salma pun hanya tertawa, dan sesekali mengelus kepalanya.

Ya, begitulah mereka menghabiskan waktu sorenya bersama. Menceritakan banyak hal. Dari obrolan yang berat seperti bagaimana mereka akan melanjutkan mimpinya kedepan, sampai menceritakan hal biasa seperti menceritakan temannya yang jatuh tiba-tiba di kelas tadi.

Anehnya, dengan begitu saja mereka sudah bisa tertawa terbahak-bahak. Memang mereka mempunyai caranya sendiri untuk bahagia.

Walaupun hanya berjarak sekitar 50 CM, tetapi Renjun sangat yakin bahwa di depan sana adalah Disha. Iya, Disha yang ia kenal.

datengin kaga ya, batin Renjun.

Setelah mengumpulkan keberaniannya, Renjun pun segera menghampiri gadis yang berada di sebrang sana.

“Dis? Disha?” panggil Renjun sambil mencoba menggenggam tangan gadis itu agar berhenti dari jalannya.

Gadis itu pun menoleh ke belakang. “Ya, siapa ya?” tanya gadis itu. Dan ternyata benar, gadis itu adalah Disha. Tetapi Renjun lupa, ia lupa kalau ia masih menggunakan jaket dan juga masker yang membuat gadis di depannya ini tidak mengenalinya.

Renjun pun langsung menurunkan sedikit maskernya, sampai disha dapat melihat wajahnya.

Raut wajah disha langsung berubah. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang ia lihat di depannya sekarang. Disha sudah susah-susah menghindari laki-laki itu sekitar semingguan, tetapi ia malah bertemu dengan laki-laki itu di sini.

Setelah sadar dengan siapa ia berhadapan sekarang, Disha langsung mencoba untuk melepas genggaman yang ada di tangannya. Tetapi tidak bisa, tenaga Disha tidak sekuat tenaga Renjun.

“Kak, maaf aku sibuk. Boleh dilepas?” pinta disha sambil masih berusaha melepas genggaman tersebut.

“Sha akun lo kenapa? lo kenapa ga kerja lagi di cafe? gua selalu ke cafe tapi lo kaga ada, Sha. lo ngehindarin gua?” Renjun langsung memberikan pertanyaan bertubi-tubi kepada Disha. Walaupun tidak ada tanda-tanda Disha akan menjawab pertanyaannya.

“Kenapa, Sha? kenapa lo ngehindarin gua? gua salah karena jujur sama lo? lo ga suka gua jujur? gua kira kalo gua jujur... lo bakal bahagia karena lo fans gua. Tapi ternyata gua salah, ya? gua harusnya—,”

“Kak jangan di sini, nanti ada yang ngeliatain, kak. ” belum sempat Renjun menyelesaikan perkataanya, Disha sudah lebih dahulu memotongnya.

Renjun sempat berpikir sebentar sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Disha pergi ke suatu tempat yang aman untuk mereka mengobrol.

“Ikut gua,” suruh Renjun sambil masih menggenggam tangan Disha.

———

Sekarang Disha sudah duduk dengan sempurna di kursi mobil milik Renjun. Sudah sekitar lima menit mereka berdua duduk, tetapi tidak ada satupun yang membuka obrolan. Yang terdengar hanya alunan musik dan juga suara mobil lalu lalang di luar sana.

Sebenarnya Renjun ingin sekali memulai percakapan, namun ia bingung harus memulai darimana. “Jadi gimana, Sha?“

“Gimana apanya, kak?” tanya Disha balik. Meskipun ia tidak menoleh sedikit pun ke arah yang mengajaknya berbicara.

“Kenapa lo ngehindar, Sha? gua nyariin lo sampe ke cafe tapi lo nya juga ga ada. Lo se gak suka itu sama gua? kalo gua salah, gua minta maaf. Kalo gua—“

“Engga, kak, lo gak salah. Selama ini gua ngehindar... karena gua takut. Lo sama gua beda, kak. Ga seharusnya gua deket-deket sama lo dan chatan kayak gitu yang ga sopan. Lo... lo artis... sedangkan gue, nih, cuma cewek biasa. Gue ngerasa ga enak karena ga sopan sama lo selama ini dan ngenganggep lo kayak temen biasa.

“Maaf ya, kak... gue janji ga bakal aktif akun itu lagi dan bakal lebih sopan lagi kedepannya. Dan, sebisa mungkin gue bakal menjauh biar lo ga ngerasa risih.” Disha langsung memotong perkataan Renjun, lagi. Tetapi ia masih tidak berani untuk menatap Renjun.

Renjun yang mendengar itu hanya tertawa. Namun sayangnya tawaan itu malah terdengar menyedihkan bagi yang mendengarnya. “Gua ga ngerasa risih, Sha, dan lo ga perlu menghindar. Gua... gua butuh lo. Gua juga butuh orang lain selain member buat temen cerita. Gua ngerasa cocok dan nyaman sama lo, nyaman sebagai teman,” balas Renjun.

“Teman, ya, kak?” jawab Disha, memastikan.

Renjun mengangguk tanpa ragu. “Anggep aja gua Rajendra, Sha. Kalo lo keberatan dengan sosok Renjun... anggep gua sebagai Rajendra yang sebelumnya lo kenal. Gua juga bakal nganggep lo kayak Disha yang sebelumnya. Gua mau lo balik jadi Disha yang bar-bar dulu... ga kayak gini.”

Seketika Disha langsung menatap laki-laki yang di sebelahnya ini. Menatapnya dengan tidak percaya, dan menjawabnya penuh penekanan. “Dih enak aja! gue lemah lembut, ya, kak. Mana ada Disha yang bar-bar, lo jangan fitnah gitu, dong!”

“Nah! gini, dong. Gua kangen sama lo yang dulu,” balas Renjun tidak kalah heboh.

Bisa renjun lihat pipi Disha menjadi sedikit memerah. Mungkin... seperti malu?

Ah, anjing. Lo lucu banget, Sha, kalo diliat langsung kayak gini, batin Renjun.

“Eh, ini langsung balik aja 'kan ke rumah lo? kasih tau jalannya, ya. Gua ga tau soalnya,” sambung Renjun.

— — —

“Oke, udah sampe depan rumah lo. Langsung bersih-bersih, ya, Sha. Jangan tidur kemaleman, ga baik buat tubuh lo. Dan jangan lupa...,” ada sedikit jeda di akhir kalimat Renjun.

Tentu saja Disha kebingungan, “jangan lupa apa?” tanyanya.

“Akun, lo. Mau sampe kapan deact? ntar gua kaga bisa chat lo lagi, Sha.”

“Oh... kirain apaan. Iyaa, ntar deh, yaa. Hati-hati, kak,“ balas disha.

Renjun pun langsung pergi dari area rumah Disha, dan pulang menuju tempat tinggalnya. Meninggalkan perempuan yang masih setia berada di depan pagar rumahnya sambil tersenyum. Merasa bahagia sampai-sampai ia tidak bisa tidur, pikirnya.

Dan, jangan lupakan jika laki-laki itu juga masih tersenyum sepanjang perjalanan, merasa tidak sia-sia setelah mencari perempuan itu selama ini.

Langit malam menjadi saksi atas kebahagian mereka berdua... untuk sekarang.

“Alia... kan?” tanya Rakael saat berada di depan mobil putih, dengan seorang wanita di depannya. “Ah, Rakael, ya? iya, gua Alia. Ini mau langsung nyari makan aja?” Alia yang sedang bermain dengan ponselnya pun sedikit terkejut dengan sapaan tiba-tiba itu.

“Boleh, sini gua aja yang nyetir,”ucapnya, ingin mengambil kunci mobil dari tangan Alia. Dengan secepat kilat, Alia menahan kunci mobilnya agar tetap berada di tangannya. “No, gua aja yang nyetir. Lagian lo juga gak bakal tau jalan, cepet masuk,” suruh Alia, agar Rakael cepat masuk ke dalam mobilnya.

Wait, gua cowok, Al. Kenapa malah lo yang nyetir?” Rakael masih tetap ingin menyetir. Dipikirannya, laki-laki lah yang harus menyetir. “Santai kali, gua juga udah biasa nyetir. Lagian, cewek atau cowok sama aja. Gak ada keharusan laki-laki yang selalu nyetir.”

Rakael terdiam, sepertinya ia bingung harus menjawab apa. Selama perjalanan, tidak ada obrolan, terlihat masih awkward dengan pertemuan pertama mereka.


“Wah... gua kira gak bakalan ada ni bubur. Perasaan udah jam setengah sembilan,” ucap Rakael. “Di sini emang bukanya sampe jam sebelasan, terus enak juga sih,” sahut Alia. “Eh, skill nyetir lo keren juga. Parkir lo rapih gini walaupun parkir pinggir,” puji Rakael.

See, udah gua bilang. Cepet ayo turun,” suruhnya. Setelah keduanya turun, tak lupa Alia mengunci mobilnya. “Lo gak pake apaan gak? atau komplit?” tanya Alia. “Komplit.'”

“Oke, lo duduk aja dulu. Gua yang pesen.” Rakael segera pergi mencari tempat duduk, untuk dirinya dan juga Alia. “Udaranya adem juga ya di sini.”ucap Rakael saat Alia baru saja duduk di kursinya. “Di sini emang enak banget.”

“Nih neng, kang, buburnya. Satu komplit, satu lagi gak pake kacang.” Rakael dan Alia segera mengambil makanan milik mereka. “Makasih, mang,” ucap Alia sambil mengaduk buburnya. “Wait.. wait, what? lo ngaduk bubur lo?!”

“Jangan bilang lo gak diaduk?” tanya Alia, sambil memberikan tatapan tajam kepada Rakael. “Omg no... diaduk jadi aneh banget warnanya.” ucap Rakael sambil memberikan ekspresi jijik kepada Alia. “Lo jangan deket-deket gua deh, gak diaduk gak bakal ada rasanya.”

“Loh, ini bumbu udah disusun rata, jadi makan gimanapun ya tetep berasa. jadi ngapain diaduk?” Rakael tetap pada pendiriannya, bubur tidak diaduk. “Udah atuh neng, kang, aduk gak diaduk sama aja udah. sama-sama dimakan, dah sok lanjutin makannya,” celetuk abang bubur di sana.